Hidup Jujur dan Terbuka By. Ps. Johannes Remiano

JPCC Online Service (16 Mei 2021)

Halo semuanya, apa kabar? Saya berharap semua dalam keadaan baik dan siap menerima firman Tuhan. Silahkan siapkan catatan anda, Selama bulan ini, kita belajar dengan tema “TRUTH BE TOLD“, atau honesty (kejujuran) dan juga vulnerability (keterbukaan). Kita belajar tentang kejujuran dan keterbukaan. Sebagai orang percaya, kita bisa jujur dan terbuka kepada Tuhan, diri sendiri dan orang lain.    Kalau Saudara masih ingat di minggu pertama, dari apa yang disampaikan Ps. Jose Carol, kita belajar untuk menjadi orang yang tidak munafik, menampilkan diri apa adanya. Saat kita bisa hidup jujur di hadapan Tuhan, maka kita mendapatkan otoritas dan keyakinan bahwa Tuhan beserta dengan kita, kita mengalami transformasi atau perubahan hidup, semakin serupa dengan Kristus, dan kita juga mengalami kemerdekaan, hidup damai sejahtera.    Saat kita hidup jujur dan terbuka kepada Tuhan, hal ini akan mempengaruhi kejujuran dan keterbukaan kita pada diri sendiri dan orang lain. Di minggu yang kedua, dari Ps. Kenny Goh, kita belajar bagaimana menjadi orang yang berintegritas, orang yang riil dan juga autentik. Ada satu musuh utama yang kita hadapi bersama-sama untuk bisa menjadi autentik, yaitu rasa malu.   Kebenaran yang kita pelajari, bahwa Yesus tidak hanya menanggung dosa kita, namun Dia juga menanggung rasa malu kita. Kalau kita percaya bahwa Yesus sudah menanggung semua rasa malu kita, maka tanggung jawab kita dan respon yang harus kita lakukan adalah menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru.    Caranya bagaimana? Dengan membuang dusta dan berkata benar kepada orang lain, untuk tidak hidup dalam kepalsuan, untuk hidup riil dan autentik. Dan ini bisa kita aplikasikan dalam hubungan kita, karya dan juga kontribusi kita, di mana pun kita berada.   Saat ini, saya ingin melanjutkan pembahasan kita dengan tema “TRUTH BE TOLD”, yang saya beri judul sermon hari ini adalah “Hidup Jujur dan Terbuka”. Setelah jujur kepada Tuhan, kepada diri sendiri, maka yang perlu kita lakukan sebagai pengikut Kristus adalah kita bisa jujur dan terbuka kepada orang lain.   Tapi mungkin ada yang bertanya, “Bagaimana caranya jujur dan terbuka dengan orang lain? Karena saat ini, bertemu orang saja jarang sekali.”   Selama masa pandemi ini, semua orang terkena dampaknya, termasuk saya dan juga Saudara. Banyak yang semakin terisolasi, dan ini berpengaruh kepada seluruh aspek kehidupan, baik spiritual, emosional, kesehatan, dan juga hubungan. Dan mereka yang tidak memiliki komunitas, atau sistem pendukung rohani yang sehat, bisa merasakan dampak yang mungkin lebih besar.    Selama masa ini, banyak sekali yang stres atau merasakan tekanan yang terus berkelanjutan, [yang] terjadi di dalam setiap aspek kehidupan kita. Mungkin saya enggak perlu menyebutkan satu per satu, dan kita tahu, bahwa stres atau tekanan yang terus kita alami ini kalau tidak ditangani dengan baik, maka akan menyebabkan burnout, atau lelah yang tidak berkesudahan, dan ujungnya berdampak kepada gangguan mental kita, yaitu anxiety, depresi dan sebagainya.   Dalam kondisi seperti ini, kita harus melakukan sesuatu, untuk meningkatkan kemampuan kita menghadapi tekanan yang ada. Kita bisa memulai dengan beberapa atau banyak hal, contohnya misalnya dengan berolahraga, melakukan hobi, mengatur waktu istirahat. Bila perlu, mengambil cuti, walaupun enggak bisa pergi berlibur. Hal lain yang juga penting untuk kita adalah memiliki komunitas rohani yang sehat.   Apa sih, komunitas rohani yang sehat? Yaitu komunitas yang autentik, peduli, dan tulus; yang di dalamnya setiap orang bisa terkoneksi, terhubung satu dengan yang lain. Komunitas di mana kita enggak hanya bicara jujur dan terbuka mengenai tantangan yang dihadapi, tetapi juga saling bantu satu dengan yang lain menghadapi tantangan tersebut. Meskipun sudah berada dalam komunitas yang sehat, ini tidak otomatis membuat semua kita bisa jujur dan terbuka kepada orang lain. Ya, mungkin ada yang merasa enggak nyaman jika harus bercerita mengenai tantangan hidupnya. Seringkali kalau saya perhatikan, saya menemukan bahwa penyebab, ya, atau faktor kebiasaan berkomunikasi dalam keluarga, ini menentukan kita, untuk bisa jujur dan terbuka dengan orang lain. Tidak sedikit dari kita yang memang di rumah tidak terbiasa untuk terbuka atau menyampaikan pendapat dan perasaan. Contoh, ketika orangtua meminta anak melakukan sesuatu, saat anak mau menyampaikan pendapat atau berargumen, maka orangtua tidak berusaha untuk menjelaskan kenapa hal itu harus dilakukan. Ya, mungkin sekadar berkata, “Udah, pokoknya kamu nurut aja.” Atau, “Kamu mau melawan?” Nah, kejadian seperti ini [kalau] berulang terus-menerus, lama-lama akan menyebabkan anak kesulitan untuk terbuka, menyampaikan pendapat, karena dia merasa percuma, kalau ngomong enggak ada gunanya juga. Ya, sehingga saat dewasa menjadi lebih sulit terbuka, karena enggak tahu bagaimana caranya untuk bisa jujur dan menyampaikan pendapat, terbuka mengenai apa yang dirasakan. Mengapa, sih, kita perlu jujur dan terbuka? Mari kita baca dari Matius 26:37-39 (TB), [37] Dan Ia— Yesus— [37] membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya— ya, kita tahu [yang dimaksud] di sini adalah Yohanes dan Yakobus— [37] Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, [38] lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, [38] seperti mau mati rasanya. [38] Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku. [39] Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: [39] “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, [39] biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, [39] tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, [39] melainkan seperti yang Engkau kehendaki. Dari ayat ini kita bisa melihat, bahwa Yesus, sebagai manusia, dapat merasakan kesedihan, ketakutan, pada saat menjelang hari atau waktu di mana Dia akan disalib. Di masa seperti ini, Dia mengajak Petrus, Yohanes dan Yakobus untuk bersama-sama dengan Dia, menemani-Nya melewati masa sulit dalam hidup-Nya. Saya percaya, bila kita bisa melihat lebih dekat, pada waktu dan situasi di mana Yesus digambarkan sebagai manusia sepenuhnya, ketika Dia menangis, ketika Dia lelah, perlu istirahat, atau lagi sendirian, ketika Dia takut, putus asa, ketika Dia menangis kesakitan, ketika Dia mengungkapkan kebutuhan akan persahabatan dan juga teman-teman, dan ketika Dia terluka, ketika teman-teman-Nya meninggalkan Dia; nah, saya percaya, hal ini penting sekali untuk kita bisa pelajari. Kenapa? Karena dengan melihat kemanusiaan-Nya, kita dapat lebih memahami diri kita. Kerentanan Yesus adalah teladan bagi kita. Yesus hidup dalam komunitas dengan 12 murid-Nya. Yesus juga jujur dan terbuka kepada mereka. Nah, kalau Yesus perlu komunitas, dan Yesus juga jujur dan terbuka, maka, kita pun perlu melakukan hal yang sama. Kita perlu hidup jujur dan terbuka. Berikut ini, saya ingin berbagi mengenai tiga manfaat, mengapa kita harus hidup jujur dan terbuka. Sudah siap semuanya? Yang pertama adalah keterbukaan memperkuat hubungan. Sekali lagi, keterbukaan memperkuat hubungan. Saat kita terbuka, maka hubungan apa pun yang kita miliki pasti akan diperkuat. Contoh, bagi suami dan istri, orang tua dengan anak, teman-teman di pelayanan, di pekerjaan, di dalam komunitas. Ada satu hal, yang saya dan istri saya sepakati. Kami sudah menikah 11 tahun, atau hampir 12. Sejak awal, kami sudah sepakat untuk selalu terbuka dalam hal apa pun. Jangan ada rahasia di antara kita. Mau senang, mau sedih, ada masalah di kantor, atau sekadar obrolan-obrolan enggak penting atau receh, kita bahas semuanya. Nah, di tahun awal pernikahan, ini enggak mudah buat saya, karena saya tidak terbiasa untuk menyampaikan isi hati atau pemikiran saya. Apalagi jika pemikiran atau pendapat saya berbeda dengan istri saya. Saya punya kecenderungan, saat itu, untuk menghindari konflik, dan memilih untuk tidak berdiskusi, karena ujung-ujungnya kita bisa ribut. Nah, saya melihat bahwa ini adalah konflik, dan saya enggak suka sekali dengan konflik di saat itu. Tetapi ini tidak menyelesaikan masalah, malah menciptakan masalah-masalah yang baru. Tentu saja, saat ini semua jadi lebih baik, ketika saya mulai mau belajar terbuka, bahkan untuk menceritakan hal-hal yang sepele. Nah, kami sama-sama belajar, terutama saya, bicara terbuka, bicarakan apa pun tanpa merasa takut disalahkan, atau disalah mengerti, atau bahkan [tidak menghindar], bila dalam pembicaraan tersebut akan menjadi sebuah konflik. Dan ternyata setelah mempelajari hal ini, setelah saya mencoba untuk jujur dan terbuka, maka hubungan kami menjadi semakin kuat. Untuk hidup jujur dan terbuka memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Sekali lagi saya ulangi, untuk hidup jujur dan terbuka memang enggak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Bukan hanya hubungan dengan pasangan, ya. Semua hubungan punya prinsip yang sama. Sebuah survei menunjukkan bahwa: hanya 50% karyawan yang percaya bahwa pemimpinnya jujur dan terbuka. Semoga ini bukan Saudara, ya. Survei yang lain menunjukkan bahwa, [hanya] satu dari empat karyawan yang punya rasa percaya kepada atasan. You cannot lead if you don’t have trust. Saudara tidak bisa memimpin kalau Saudara tidak memiliki kepercayaan, atau tidak mendapatkan kepercayaan dari siapa pun yang Saudara pimpin. Ya, saya ingin mengutip dari Simon Sinek, dia bilang seperti ini: “A team is not a group of people who work together, but a team is a group of people who trust together.” Tim bukanlah orang-orang yang hanya bekerja sama, tetapi tim yang sebenarnya adalah orang-orang yang mempunyai rasa percaya, bekerja bersama-sama. Nah, ini penting sekali. Sekali lagi, hidup jujur dan terbuka di mana pun akan memperkuat hubungan kita. Yang kedua, keterbukaan membawa kesembuhan. Sekali lagi, keterbukaan membawa kesembuhan. Saat tubuh kita terluka, tidak semua luka bisa sembuh begitu saja. Contohnya, luka digigit nyamuk. Bila ada nyamuk yang menggigit tangan kita, kita mungkin enggak perlu mengobati apa-apa. Ya, mungkin hanya bentol sebentar, enggak berapa lama sembuh. Tetapi luka yang terkena pisau, atau kena wajan saat memasak atau kena cipratan minyak, tentu perlu penanganan yang berbeda dengan luka yang digigit nyamuk. Apalagi luka yang besar, seperti kecelakaan atau luka bekas operasi. Meskipun luka tersebut ditutup dengan perban, ada waktunya perban harus dibuka. Tentu saja di ruangan yang bersih atau steril, untuk dibersihkan dan diobati supaya bisa segera sembuh. Begitu juga dengan luka batin yang kita alami, supaya bisa pulih kita perlu membawa ke tempat yang bersih, yang steril, agar bisa diobati. Nah, saat terbuka, sama seperti luka, pasti rasanya tidak nyaman. Ya, sakit, perih, tetapi caranya untuk bisa diobati, luka tersebut harus terbuka. Karena kita enggak bisa mengobati sebuah luka dalam kondisi [luka] itu diperban, bukan? Yakobus 5:16 (TB): [16] Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, [16] supaya kamu sembuh. [16] [Karena] Doa orang yang benar, [16] bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. Jadi, apa yang kita bisa pelajari dari hal yang kedua ini adalah, kita harus berani jujur dan terbuka kepada orang-orang yang kita percaya, yang bisa membantu kita menyembuhkan luka-luka kita. Ya, luka-luka yang mungkin enggak ada orang yang tahu, atau mungkin dosa yang kita simpan, kita sembunyikan selama ini, yang terus mengintimidasi kita, ya, terus membuat kita tidak bisa bebas, kita tidak bisa lepas. Saya masuk kepada poin yang ketiga. Keterbukaan adalah kunci pertumbuhan rohani. Saya ulangi, yang ketiga, keterbukaan adalah kunci pertumbuhan rohani. Setelah delapan tahun berdoa untuk anak yang kedua, akhirnya, bulan Desember tahun lalu, istri saya dinyatakan positif. Saya rasanya kepingin terbang ke langit. Tiap hari membayangkan, kira-kira nanti bayinya seperti apa? Laki atau perempuan? Kira-kira nanti mau dikasih nama siapa? Kita excited, termasuk anak saya yang pertama. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Di bulan Januari lalu, kita harus melepaskan anak kita. Istri saya mengalami keguguran. Ini pertama buat kami dan ini sesuatu yang tidak mudah. Di saat itu kita merasakan kami tidak baik-baik saja. Selama masa-masa itu kami belajar untuk tetap hidup jujur dan terbuka, kepada keluarga kami, kepada DATE kami, kepada sahabat-sahabat kami. Saat mereka bertanya, “Apa kabarmu?” kami menjawab apa adanya, “Kami tidak baik-baik saja.” Tetapi kami dalam proses menjadi lebih baik, dan kami tetap percaya bahwa Tuhan itu setia. Keadaan “tidak baik”, bukanlah keadaan yang akan terus berlangsung terus-menerus dalam kehidupan kita. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, ada saatnya luka tidak bisa sembuh dengan sendirinya; saat itulah kita perlu pertolongan. Galatia 6:2 (TB): [2] Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! [2] Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Jadi, saat Saudara mengalami sesuatu yang tidak baik, dalam masa-masa yang sulit, di situlah kunci untuk kita bisa dibantu atau ditolong. Dan jika kita sudah pulih, kita bisa mengalami pertumbuhan secara rohani. Termasuk juga saya dan istri saya, walaupun tidak mudah mengalaminya, merasakannya, melewati prosesnya, tapi kita mengerti dan paham bahwa Tuhan tahu yang terbaik buat kehidupan kita. Jadi, dengan jujur dan terbuka, kita mengikuti teladan Yesus Kristus. Dengan jujur dan terbuka, kita bisa memperkuat hubungan kita, dengan suami, dengan istri, dengan anak-anak, dengan teman-teman kita, dengan komunitas, dan orang-orang yang kita percaya. Dengan jujur dan terbuka, membantu kita mengalami kesembuhan, membantu kita untuk dipulihkan. Dan dengan jujur dan terbuka, kunci untuk kita bisa mengalami pertumbuhan rohani. Saya enggak tahu saat ini, apa yang Saudara rasakan setelah mendengar firman yang baru saja disampaikan. Tetapi ada beberapa hal yang bisa Saudara lakukan. Yang pertama, bila Saudara belum memiliki komunitas yang sehat— komunitas rohani yang sehat— biar [pun] Saudara belum tahu atau belum mengerti, ya, atau tidak punya orang-orang yang Saudara percaya, langkah yang pertama yang Saudara lakukan adalah segera mendaftarkan diri Saudara melalui [aplikasi] MyJPCC— jika Anda di Jabodetabek— untuk bisa menemukan komunitas rohani yang sehat. Tetapi bila Saudara tinggal di luar Jabodetabek, Saudara bisa mencari komunitas yang paling dekat, gereja lokal yang paling dekat di daerah Saudara, sehingga Saudara mulai masuk di dalam komunitas rohani tersebut. Yang kedua, bila Saudara sudah ada di dalam komunitas atau ada di dalam DATE, tetapi Saudara masih belum berani jujur dan terbuka, Saudara masih memakai topeng, masih banyak yang disembunyikan, mulailah untuk jujur dan terbuka, minimal kepada ketua DATE Anda atau ketua komsel Anda, atau seseorang yang Anda percaya, secara rohani dewasa, dan [kepadanya] bisa Saudara cerita hal-hal yang mungkin tidak banyak orang yang tahu. Nah, yang ketiga, bagi Saudara yang saat ini mungkin pernah kecewa dengan komunitas,