JPCC Online Service (30 Mei 2021)
Salam damai sejahtera untuk kalian semua jemaat JPCC yang dikasihi Tuhan, di mana pun kalian berada. Dan juga kepada semua kalian yang ikut menyaksikan online service ini. Kiranya berkat dan penyertaan Tuhan kita, Yesus Kristus, nyata atas kalian semua. Kita sudah sampai di minggu terakhir dari bulan Mei, dan hari ini merupakan giliran saya untuk berbagi kebenaran firman Tuhan. Saya percaya kalian sudah belajar banyak tentang kejujuran, keterbukaan, dan kerentanan. Saya ingin menambahkan beberapa hal yang saya harap dapat memberkati kalian semua. Mari kita buka kitab Kejadian. Saya mau ajak kalian melihat kembali ke awal manusia diciptakan oleh Tuhan. Opening Verse – Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu. Kejadian 2:24-25 (TB) Apa yang dituliskan di ayat ini bukanlah tentang manusia pertama dan istrinya saja. Sebab, ingat, mereka tidak punya ayah dan ibu. Tetapi firman Tuhan ini mengungkapkan suatu pattern atau pola yang Tuhan mau untuk sebuah pernikahan. Kemudian dijelaskan bahwa manusia dan istrinya itu dalam keadaan telanjang, tetapi mereka tidak merasa malu. Nah, kalau Tuhan mau mereka berpakaian, pasti Tuhan sudah mengenakan mereka pakaian. Tetapi ini lebih dari sekadar soal fisik atau soal pakaian. Yang dituliskan di sini, juga merupakan suatu prinsip, dalam sebuah hubungan atau relationship. Dalam sebuah hubungan, keintiman menentukan keterbukaan. Artinya, semakin dekat atau semakin intim kita dengan seseorang, semakin terbuka kita dengan orang tersebut. Termasuk dalam membicarakan hal-hal yang sifatnya pribadi, yang tidak mungkin dibicarakan dengan orang lain, karena sudah tumbuh kepercayaan, rasa aman, sudah saling mengenal dan ada pengertian satu dengan yang lainnya. Namun level yang terdalam dari sebuah hubungan antara manusia hanya didapatkan dalam sebuah pernikahan. Di mana dua sudah menjadi satu, suami dan istrinya itu dalam keadaan telanjang; dalam artian, terbuka seluruhnya, sama sekali tidak ada yang dirahasiakan atau perlu ditutup-tutupi. Dan itulah yang menjadi standar yang Tuhan inginkan terjadi dalam hubungan suami istri, dalam sebuah pernikahan. Tetapi bukan ini yang saya mau bahas hari ini. Kita tahu bagaimana kisah selanjutnya. Dimana Ular datang menggoda wanita untuk memakan buah yang Tuhan larang mereka makan, dan wanita itu memberikannya kepada suaminya, dan suaminya pun melakukan hal yang sama. Mereka melanggar perintah Tuhan! Dan akibatnya, kita baca dalam kitab Kejadian, Supporting Verse – Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat. Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau? Ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.” Kejadian 3:7-10 (TB) Nah, meskipun secara fisik atau dari penampakan luar tidak ada yang berubah terhadap diri mereka, dan juga tidak ada orang lain lagi, di Taman Eden, kecuali mereka berdua, tapi ada yang berubah secara internally. Ada yang berubah dalam pikiran dan perasaan mereka terhadap satu sama lain sejak mereka memakan buah terlarang itu. Apa yang mereka lakukan itu, namanya “dosa”. Supporting Verse – Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah. 1 Yohanes 3:4 (TB) Untuk pertama kalinya, manusia dan istrinya itu merasakan apa yang namanya ‘malu’. Malu terhadap satu sama lain; perasaan yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Mereka menjadi begitu sadar akan ketelanjangan mereka. Mereka menjadi canggung di hadapan pasangan mereka sendiri, sehingga mereka merasa perlu untuk menutupi keberadaan mereka, dengan menyematkan daun pohon ara sebagai cawat. Dosa yang dibawa masuk ke dalam sebuah hubungan— termasuk hubungan suami istri— akan mempengaruhi keintiman. Dari terbuka semuanya, sekarang ada yang harus ditutupi. Dan sejak saat itu, manusia pandai dalam menggunakan berbagai macam cara untuk menutupi dosa dan kesalahan mereka. Dan bukan hanya itu, ketika mereka mendengar bunyi langkah Tuhan mendekat, mereka kembali merasakan apa yang selama ini belum pernah mereka rasakan sebelumnya, yaitu takut. Perasaan ini muncul, karena mereka sadar mereka sudah melakukan suatu pelanggaran dan perlu mempertanggungjawabkan apa yang mereka lakukan, kepada Tuhan. Perasaan takut ini menyebabkan mereka kemudian bersembunyi dari Tuhan. Jadi, yang dosa bawa masuk dalam hidup manusia adalah perasaan bersalah— atau guilt dalam bahasa Inggrisnya— dan rasa malu atau shame. Dan dosa ada konsekuensinya! Firman Tuhan katakan, upah dosa adalah maut atau kematian. Guilt (rasa bersalah) dan shame (rasa malu); dua hal yang mirip, namun sangat berbeda dan mempunyai dampak yang berbeda pula. Kita perlu mengerti bedanya antara guilt dan shame; antara perasaan bersalah dan rasa malu. Dan setelah mengerti, baru kita dapat mencari jalan, bagaimana kita bisa bebas dari keduanya? Apa itu “guilt”? Rasa bersalah, adalah perasaan yang datang karena sebuah kesadaran bahwa kita sudah melanggar suatu ketentuan atau hukum atau perintah, termasuk perintah Tuhan, yang seharusnya kita taati. Kalau kita tidak melakukan pelanggaran, maka kita tidak akan merasa bersalah. Makanya, kalau kita berdosa, otomatis kita merasa bersalah— ada perasaan bersalah dalam diri kita— meskipun tidak ada atau belum ada yang tahu, apa yang kita buat. Tuhan sudah mendesain manusia secara demikian. Nah, kemudian rasa malu segera bergabung dengan rasa bersalah, apalagi kalau dosa kita terekspos atau diketahui orang. “Guilt” atau rasa bersalah berkata, ”Kamu melakukan sesuatu yang salah!” “Shame” berkata, ”Itulah sebabnya kamu perlu bersembunyi, sebab kamu jahat, kamu nakal, kamu bodoh!”, dan lain sebagainya. Definisi rasa malu secara formal adalah perasaan yang menyakitkan karena kehilangan rasa hormat dari orang lain, akibat dari perilaku yang tidak pantas atau dosa. Rasa malu membuat image atau gambar diri kita berkurang di mata orang lain ataupun di mata Tuhan— itu yang kita pikirkan— belum tentu Tuhan berpikir demikian! Sehingga membuat kita menjadi minder, merasa tidak berharga atau tidak bernilai atau tidak berdaya. Rasa malu selalu berkenaan dengan keberadaan kita di hadapan orang lain. Rasa malu membuat kita sibuk memikirkan apa kata orang tentang diri kita. Apalagi setelah mereka tahu kesalahan atau dosa yang kita lakukan. Pada dasarnya, kita tidak akan merasa malu kalau tidak ada orang yang tahu apa yang kita buat, atau kalau tidak ada orang yang melihat apa yang kita buat . Sering kita mendengar orang atau mungkin kita sendiri katakan, “Untung enggak ada yang liat! Kalau enggak, malu banget gua nih!”, gitu. Doktor Brené Brown, seorang peneliti dan penulis buku khusus tentang shame atau tentang rasa malu, membedakan antara “guilt” dan “shame” seperti ini: “Guilt” mengatakan, “I did something bad!” “Saya melakukan sesuatu yang salah!” Sedangkan “shame” mengatakan, “I am bad!” “Saya jelek!” atau “Saya salah!” Rasa malu fokusnya pada diri sendiri, sedangkan rasa bersalah, fokusnya pada perilaku. Nah, mari kita baca 1 ayat lagi dari Kejadian 3:-11 (TB). Supporting Verse – Firman-Nya:— firman Tuhan— “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” Kejadian 3:-11 (TB) Nah, Tuhan bertanya kepada mereka. Pertama, ini pertanyaannya: “Siapa yang kasih tahu, kalau kamu telanjang?” Pertanyaan ini mengarah pada rasa malu yang mereka alami, karena [rasa malu] selalu berhubungan dengan orang lain. “Siapa yang kamu dengarkan?” Rasa malu yang menghantui, membuat kita lebih memperhatikan apa kata orang lain, lebih daripada apa kata Tuhan tentang kita. Pertanyaan berikutnya, “Apakah engkau makan dari buah pohon yang Kularang engkau makan itu?” Pertanyaan ini mengarah kepada perasaan bersalah yang mereka rasakan. Pertanyaan ini menuntut sebuah pengakuan dari mereka, bahwa mereka sudah melanggar atau berbuat dosa. Dua pertanyaan Tuhan ini, membuktikan bahwa Tuhan tahu persis apa yang mereka sedang alami. Sharing Ps. Jeffrey – Dua hal yang dibawa masuk oleh dosa, yaitu rasa malu dan rasa bersalah. Suatu hari, anak saya dapat angka jelek dalam sebuah tes. Dia katakan, “I failed, Dad. I am dumb!” “Saya gagal! Saya bodoh!” Saya kaget mendengarkan itu, dan saya langsung katakan kepada dia, “Siapa yang bilang, bahwa kamu bodoh? Hanya karena kamu gagal sekali ini, tidak berarti kamu bodoh. Itu adalah dua hal yang berbeda! Yang satu tentang apa yang kamu kerjakan, dan yang satu lagi tentang apa yang kamu percayai tentang dirimu.” Saya katakan, ”Kamu anak pandai! Cuma kamu harus belajar lebih giat lagi. Coba kasih tahu, mana yang kamu tidak mengerti, supaya daddy bisa bantu kamu belajar.” Kenyataannya adalah hanya karena kita melakukan kesalahan, bukan berarti bahwa kita orang jahat atau rusak. Tetapi ini yang seringkali terjadi, bahwa iblis senang sekali mengaitkan kesalahan kita dengan identitas diri, yang membuat kita kemudian menjadi malu, merasa tidak layak, merasa tidak cukup baik, merasa tidak pantas, tidak berguna. [Merasa] bahwa kita sudah rusak dan tidak dapat dipulihkan. Sehingga kita tidak lagi dapat melihat diri kita seperti Tuhan melihat kita. Akibatnya, kita jadi menarik diri, bersembunyi, atau sibuk menutupi rasa malu tersebut dengan berbagai macam hal. Definisi Doktor Brené Brown tentang “shame”, adalah “the intensely painful feeling that we are unworthy of love and belonging”. Perasaan yang sangat menyakitkan bahwa kita tidak layak untuk dicintai dan dimiliki. Rasa bersalah, hanya terbatas pada individu yang melakukan dosa. Namun rasa malu itu, menular. Bisa jadi, bukan kita yang melakukan kesalahan, tetapi kita ikut menanggung rasa malu karena kita mempunyai hubungan dengan orang yang melakukan kesalahan. Berapa banyak anak-anak yang dihinggapi rasa malu, karena kesalahan yang dilakukan oleh orang tua mereka, terekspos. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian di-bully oleh teman-teman mereka di sekolah, padahal bukan mereka yang melakukan kesalahan. Rasa malu bisa merusak lebih hebat daripada kesalahan itu sendiri. Sebab perilaku bisa diperbaiki; kalau kita berbuat salah, dengan segera kita bisa meminta maaf, atau kalau perlu membayar kesalahan kita tersebut. Tetapi rasa malu yang ditimbulkan akibat dosa atau kesalahan yang kita buat, bisa terus menghantui dan berlangsung cukup lama. Dan selama kita tidak dapat melepaskan diri dari rasa malu tersebut, maka kita akan terus hidup dalam persembunyian, dan tidak dapat melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan, atau kita sibuk menutup-nutupinya dengan berbagai macam hal. Banyak anak-anak Tuhan yang mengundurkan diri dari pelayanan, bukan semata-mata karena kesalahan yang mereka buat, tetapi lebih karena rasa malu, karena kesalahan atau dosa mereka diketahui oleh orang. Sehingga meskipun mereka sudah mengakui perbuatannya, sudah diampuni dan sudah berusaha memperbaiki kelakuannya, namun mereka tetap menarik diri, karena malu. Masalahnya, dengan bersembunyi, apalagi hidup sendirian, terpisah dari komunitas, menyebabkan si jahat semakin leluasa menekan, menuduh dan mempermainkan rasa malu dalam hidup mereka, yang menjadikan mereka menjadi semakin sulit, untuk keluar dan bebas. Pastor Kenny Goh menyampaikan beberapa minggu yang lalu, bahwa Yesus tidak hanya menanggung dosa kita, tetapi Dia juga menanggung rasa malu kita, sehingga kita dapat hidup bebas, dari dosa dan rasa malu. We can be free from sin, guilt, and shame. Kenny katakan, “Bayangkan hidup tanpa beban memikirkan apa kata orang lain tentang kita. Tanpa perlu menutup-nutupi siapa diri kita sebenarnya.” Dan itulah yang Yesus mau! Dia sudah menebus semua dosa kita dan menanggung rasa malu kita, sehingga kita dapat hidup merdeka dari dosa dan rasa malu. Dalam Yohanes 4, ada kisah yang sangat menarik. Nah, dikatakan bahwa ketika Yesus dalam perjalanan dari Yudea kembali ke Galilea, Dia perlu melewati daerah Samaria. Dan di kota yang bernama Sikhar, terdapat sumur Yakub. Letih karena perjalanan Yesus kemudian beristirahat, duduk di pinggir sumur itu. Dan ketika hari menunjukkan kira-kira jam 12 siang, datanglah seorang wanita Samaria ke sumur itu, untuk menimba air. Biasanya, orang menimba air di pagi hari atau pada waktu sore menjelang malam, karena udara lebih dingin. Mengapa wanita ini menimba air di siang hari bolong, pada saat panas terik matahari sedang kuat-kuatnya? Bisa jadi, karena wanita ini, mau menghindar dari keramaian. Wanita ini malas bertemu dengan banyak orang. Pertanyaannya: mengapa dia menghindar? Supporting Verse – Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, panggillah suamimu dan datang ke sini.” Kata perempuan itu: “Aku tidak mempunyai suami.” Kata Yesus kepadanya: “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.” Yohanes 4:16-18 (TB) Nah, bayangkan! Di zaman sekarang ini saja, tidak banyak wanita yang pernah menikah sampai lima kali dan gagal, seperti wanita Samaria ini. Memang tidak diberitakan, apakah karena cerai atau karena suaminya meninggal dunia; tetapi yang pasti adalah wanita ini sekarang tinggal bersama dengan pria yang bukan suaminya! Itu jelas adalah dosa. Jadi hidup wanita ini, bukanlah sesuatu yang bisa dia banggakan. Dan bayangkan apa yang terjadi atau apa jadinya kalau dia mengambil air pada saat sedang ramai-ramainya orang mengambil air; maka pastilah dia menjadi bahan omongan orang banyak. Tatapan mata, cibiran, desas-desus dan bahasa tubuh orang akan memperbesar rasa malu yang ada di dalam dirinya. Itu sebabnya dia rela mengambil air di siang hari bolong, supaya dia tidak perlu bertemu dengan orang. Nah, sedikit tambahan latar belakang yang perlu diketahui, supaya kita mendapatkan konteks dari cerita ini adalah, bahwa pada waktu itu, dikatakan, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria. Orang-orang Yahudi menganggap orang Samaria itu lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan mereka. Jadi meskipun ada Yesus di situ, yang duduk di dekat sumur itu, wanita ini memutuskan untuk tetap datang menimba air. Mungkin saja dia pikir, karena Yesus adalah orang Yahudi, jadi dia tidak bakalan diajak bicara. Dan, pada saat itu, Yesus sedang sendirian karena Dia menyuruh semua murid-murid-Nya ke kota untuk membeli makanan. Namun apa yang terjadi? Di luar dugaan wanita ini, Yesus justru mengajak dia berbicara; dan bukan hanya sekedar basa-basi! Mereka kemudian terlibat dalam sebuah pembicaraan yang cukup intens. Dan kita tidak cukup punya waktu untuk membahas semuanya. Kalian bisa baca sendiri apa saja yang mereka bicarakan. Tetapi salah satu hal yang sangat luar biasa, menurut saya, adalah ketika Yesus mewahyukan diri-Nya kepada wanita ini. Supporting Verse – Jawab perempuan itu kepada-Nya: “Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami.” Kata Yesus kepadanya: “Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau.” Yohanes 4:25-26 (TB) Bayangkan! Dari semua orang yang Yesus bisa pilih untuk mewahyukan siapa diri-Nya, Yesus memilih mewahyukan, bahwa Dia-lah Mesias, Sang Juruselamat, kepada wanita Samaria ini. Sepertinya Tuhan membuat sebuah statement (pernyataan): Bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar, yang dapat menghalangi Dia untuk menjangkau manusia. Kalau kita mau percaya, maka tangan-Nya selalu terbuka, siap menerima kita dengan kasih-Nya yang begitu besar. Perjumpaan dengan Yesus mengubah wanita yang hidup dalam dosa dan dipenuhi rasa malu ini, menjadi wanita yang bebas merdeka. Bayangkan! Dari seorang wanita yang senang menyendiri, yang tidak suka bertemu dengan banyak orang, berubah menjadi wanita yang berani menceritakan kepada semua orang tanpa rasa malu lagi, [akan] apa yang selama ini dia tutupi. Wanita ini terlepas dari beban masa lalunya. Supporting Verse – Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: “Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?” Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus. Yohanes 4:28-30 (TB) Apa yang Yesus lakukan, terhadap wanita ini? Dengan mengajak wanita ini berbicara, Yesus menyatakan bahwa Dia tidak memandang rendah orang Samaria, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Yahudi lainnya. Meskipun Yesus tahu, siapa wanita ini dan dosa apa yang dia buat, tetapi Yesus tidak menghakimi wanita ini sama sekali. Di sinilah Yesus menunjukkan kebaikan-Nya kepada wanita Samaria ini. Supporting Verse – Padahal Allah sangat baik dan sabar kepadamu. Allah sudah menunggumu untuk bertobat, tetapi kamu tidak peduli akan semua kebaikan-Nya. Kamu harus mengerti bahwa kebaikan hati-Nya yang ditunjukkan-Nya kepadamu adalah untuk membimbingmu supaya kamu bertobat. Roma 2:4 (TSI) Jadi, kebaikan hati Tuhan lah, yang menuntun seseorang kepada pertobatan. Dan tidak heran, kalau wanita Samaria ini merasa dihargai, merasa diterima, sehingga dia merasa aman untuk terbuka tentang apa yang selama ini dia selalu tutupi. Perkara yang mendatangkan rasa malu dalam hidupnya, yaitu soal suaminya atau soal pernikahannya yang gagal. Doktor Brené Brown mengatakan, dengan semakin menutup-nutupi, dan tidak membicarakan rasa malu, justru membuat pengaruh rasa malu itu menjadi semakin besar. Jalan keluarnya adalah berani terbuka, menjadi rentan, dan dengan jujur membicarakannya dengan orang lain. Dan tentunya bukan dengan sembarangan orang. Tetapi dengan orang yang dapat berempati dengan apa yang sedang dialami. Dan inilah yang terjadi dari perjumpaan Yesus dengan wanita Samaria ini, yang menyebabkan wanita ini bebas dari rasa malu yang selama ini menghantui dia. Dan yang menyebabkan dia mempunyai keberanian untuk bersaksi kepada orang banyak, sehingga banyak orang datang kepada Yesus. Supporting Verse – Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Iapun tinggal di situ dua hari lamanya. Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya, dan mereka berkata kepada perempuan itu: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia. Yohanes 4:39-42 (TB) Bayangkan! Dari seorang yang malas bertemu dengan banyak orang, wanita Samaria ini berubah menjadi seorang yang memberitakan tentang Yesus kepada banyak orang. Luar biasa! Kalau Yesus dapat lakukan kepada wanita Samaria ini, pasti Dia juga mampu lakukan dan mau lakukan kepada kita semua. Karena Yesus tetap sama, dahulu, sekarang dan untuk selama-lamanya. Saudara dan saya, dapat hidup bebas dari dosa, dari rasa bersalah dan rasa malu, karena Yesus sudah menanggung semua dosa dan rasa malu kita, dengan jalan mati di atas kayu salib. Supporting Verse – sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus. Yohanes 1:17 (TB) “Kasih karunia dan kebenaran” datang oleh Yesus Kristus; satu (kasih karunia) tidak dapat dipisahkan dengan yang lain (kebenaran). Kasih karunia-Nya menebus kita dari semua dosa. Supporting Verse – Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Roma 3:23-24 (TB) Untuk dapat bebas dari rasa bersalah, firman Tuhan katakan, kita perlu jujur, mengakui dosa-dosa kita di hadapan Tuhan. Supporting Verse – “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari berbagai kejahatan. 1 Yohanes 1:9 (TB) Kasih karunia-Nya— kasih karunia Yesus— mengampuni dan menyucikan kita dari semua dosa. Sedangkan kebenaran-Nya, firman-Nya, adalah pelita yang menuntun kita berjalan dalam kebenaran, yang mengusir semua kegelapan, sehingga kita dapat hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Closing Verse – Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Yohanes 8:31-32 (TB) “Kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya.” Berarti, hal yang sama juga berlaku buat kita yang percaya kepada-Nya. Yesus katakan, “Supaya mereka tetap berada dalam firman-Nya.” Kalau kita mengenal kebenaran dan mengerti siapa kita di mata Tuhan, maka setiap kali iblis mencoba menaruh rasa malu dan mengungkit masa lalu, maka kita dapat menggunakan firman Tuhan untuk mengalahkannya. Kita perlu percaya dan beriman kepada apa yang Tuhan katakan tentang kita, lebih daripada apa yang coba iblis tuduhkan kepada kita. Semoga apa yang saya beritakan hari ini, memberkati Saudara semua dan menolong Saudara semua, untuk bisa hidup bebas dan merdeka dari rasa takut, rasa bersalah dan rasa malu. Sampai ketemu di Minggu yang akan datang. Tuhan Yesus memberkati. P.S : Hi Friends! I need a favor, please do let me know if any of you know a freelance opportunity for a copywriter (content, social media, press release, company profile, etc). Sharing is caring so any support is very much appreciated. Thanks much and God Bless!