JPCC Online Service (5 Maret 2023)
Pesan Tuhan hari ini saya berikan judul, ”It Starts with Me (Dimulai Dengan Saya)”. Minggu ini kita masih dalam materi pembelajaran tentang hubungan, khususnya secara horizontal. Tuhan menciptakan saudara dan saya tidak untuk hidup sendirian, tapi berdampingan dengan orang lain. Sehingga kualitas hubungan seseorang dengan sesamanya, akan menentukan kualitas kehidupannya.
Kita sudah belajar prinsip ini minggu demi minggu, Bahwa kalau kita mau punya hidup yang berkualitas ternyata enggak tergantung dari seberapa kayanya kita, status kita dimata orang lain, kepemilikan kita, pencapaian kita, jam terbang kita, semua itu enggak menjamin. Tetapi ternyata ada satu hal yang sangat berhubungan langsung dengan kualitas kehidupan kita, yaitu kualitas hubungan kita dengan orang lain.
Opening Verse – Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus. Filipi 2:5 (TB)
Ini ayat kunci kita selama seri pembelajaran ini. Terjemahan bahasa Inggrisnya katakan “in your relationships with one another”, dalam hubungan-hubunganmu dengan orang lain; dengan istrimu, suamimu, papa, mama, kakak, adik, orang tua, gebetan, pacar, mertua, dan bahkan dengan cucu.
Have the same mindset, milikilah pola pikir yang tidak cuman dilungsurkan dari orang tuamu, tapi yang sama dengan yang Kristus miliki. Tahukah, sebelum Saudara jadi orang Jawa, Sunda, Batak, Cina, Manado, Saudara adalah warga negara kerajaan surga terlebih dahulu?
Budaya Alkitab ada di tempat tertinggi melebihi budaya kita masing-masing. Di Minggu pertama dari seri pembelajaran ini, kita belajar prinsip bahwa good relationships keep us happier and healthier. Fisik dan otak kita jadi lebih sehat! Enggak cuman fisik, otak kita jadi enggak gampang lupa. Hidup kita pun jadi lebih bahagia ketika punya kualitas hubungan yang baik dengan orang-orang di sekeliling kita. Saudara mungkin punya hubungan yang berkuantitas, tapi ternyata kuantitas hubungan tidak menjamin kualitas hubungan.
Di minggu kedua pembelajaran ini, kita belajar bahwa masa single, Masa single adalah masa kita belajar jadi dewasa. Apa itu “orang dewasa”? Baca sama-sama: orang dewasa mahir jaga hati dan menguasai diri.
Di Minggu ketiga, kita belajar pernikahan adalah tempat kita belajar mati. Tempat kita mati terhadap keinginan diri sendiri, ya. Di kursi Saudara sekarang, ada kartu yang menjadi pengingat bahwa ada empat kebiasaan inti yang perlu suami dan istri lakukan.
- Yang pertama, Kasihi Tuhan lebih dahulu. Karena kalau kita tidak mengasihi Tuhan lebih dahulu, sulit bagi kita untuk mengasihi pasangan kita.
- Yang kedua, Respect and Love. Kasih dan hormat.
- Yang ketiga, praktikkan janjimu, dan jangan cuma omdo saja.
- Yang terakhir, Have serious fun atau bersenang-senanglah dengan serius. Kalau mau bersenang-senang itu yang serius, have serious fun.
Nah kalau ada beberapa dari Saudara yang mungkin belum mengikuti pembelajaran di beberapa minggu terakhir, Saudara masih bisa mendengarkananya di aplikasi Revivo.
Nah, minggu ini kita akan belajar tentang parenting, any parents in the house? Kita akan belajar tentang bagaimana mengasuh, membimbing dan mendidik anak-anak.
Meskipun pembahasannya adalah seputar orang tua atau fungsi orang tua, tetapi prinsip ini juga bisa Saudara lakukan, dan bisa Saudara praktikkan dalam setiap fungsi Saudara.
Baik sebagai seorang pemimpin, seorang kolega, seorang pemimpin di Ministry, dan bahkan atau apapun juga. Nah, bagi Saudara yang mungkin belum memiliki anak atau bahkan belum berkeluarga, tangkap pesan Tuhan secara pribadi buat Saudara, ya? Saudara akan merasa bersryukur, ”Untung ya gua denger ini sebelum saya jadi parents.”
Supporting Verse – Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari padaku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. 2 Timotius 1:13 (TB)
Saudara, di sini Paulus menasehati anak rohaninya, muridnya, kepada Timotius, untuk memegang teguh apa yang dia sudah ajarkan dan lalu mengaplikasikannya dalam keseharian dalam kasih dan imannya.
Izinkan saya menitipkan sebuah prinsip pembelajaran kita sebagai parents, karena warisan terbesar yang dapat kita berikan adalah karakter dan iman kita. Bukan uang, Bukan jaminan apapun, bukan rumah, bukan fasilitas ini itu, bukan posisi, bukan pencapaian, tetapi—baca sama-sama—warisan keluarkan dulu—1,2,3: “Warisan terbesar yang dapat kita berikan adalah karakter dan iman kita.”
Warisan karakter dan iman yang Saudara dan saya—sebagai suami-istri—hidupi sedemikian rupa sehingga ini bisa menjadi nilai yang diwariskan kepada anak-anak kita. Tetapi tantangannya adalah anak-anak sulit untuk menangkap apa yang kita ajarkan kalau itu tidak terlihat dalam apa yang kita hidupi.
Karena jauh lebih banyak ditangkap daripada diajarkan; more is caught than taught. Meskipun kita jago mengajar meskipun kita jago berkotbah —termasuk yang pegang microphone ini— tidak menjamin otomatis kita bisa mewariskan kasih dan atau iman dan karakter kita.
Dan, saya akan tutup khotbah ini pagi hari ini. Langsung bangun kan? Ada yang udah mulai liur liur? Udah mulai, enak ya, ya habis hujan-hujan ya? Jangan sedih, saya akan tutup dengan 40 plus 10 poin berikut ini.
Just Kidding, hanya ada 5 poin; ada 5 Parenting Core Values, 5 nilai inti, yang perlu kita hidupi dalam fungsi kita sebagai orang tua dan pemimpin.
Yang pertama adalah ini God’s Love atau Kasih Tuhan.
Supporting Verse – Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah sebab Allah adalah kasih. 1 Yohanes 4: 7-8 (TB)
Saudara, setiap keluarga harus punya fondasi terutama dan paling utama dalam parenting journey-nya namanya kasih Tuhan. Keluarga adalah tempat pertama anak-anak kita mengenal dan mengalami kasih Tuhan lewat orang tuanya.
Kasih yang mereka alami di dalam keluarga ini, akan menjadi pembelajaran yang berharga bagi mereka bahwa ada sebuah kasih yang sejati yang bersumber dari Tuhan: “Aku mengalaminya, aku melihatnya terjadi di orang tuaku. Aku mengalaminya dari orang tuaku kepada aku!”
Kalau anak-anak kita tidak mengenal kasih Tuhan dari rumah—semua bilang ‘rumah’— lebih besar kemungkinan untuk mereka mencari kasih dari sumber-sumber yang salah di luar rumah. And then when that happens, kita pasti tidak akan terlalu suka.
So, dalam parenting, Saudara, it’s more about the parents than the kids. Kita pikir parenting itu tentang anak-anak kita, ”Harus gimana anak-anak kita ya? Anak kita harus diapain lagi?” No, no, no. Parenting is more about me than my kids. Makanya, judul pesan hari ini, ”It Starts With Me.”
Supporting Verse – Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya—apa?—kasih Kristus. Ada berbagai macam, begitu luas, tinggi, dalam, lebar dari dimensi dari kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Efesus 3:18-19 (TB)
Mungkin Saudara sudah pernah kenal ayat ini. Kata ‘mengenal’ dari bahasa Greeknya “GINOSKO”, to know especially through personal experience. Tahu tentang kasih Kristus, terutama karena orang tuanya mengalami kasih Tuhan secara pribadi.
Kekristenan itu enggak bisa dompleng, nunut, enggak bisa. “Orang tuaku Kristen, aku juga Kristen.” Well, by default maybe, kekristenan mungkin terlihat bisa dilungsurkan secara kartu identitas. Tapi kekristenan sebenarnya adalah sesuatu yang sifatnya personal!
Itu sebabnya kasih Tuhan jangan hanya mengejar sekedar jadi sekedar pengetahuan, tapi sesuatu yang kita tahu karena saya mengalaminya sendiri sebagai orang tua. Suami dan istri, masing-masing, perlu mengalami kasih Tuhan secara pribadi, sehingga mereka bisa membawa anak-anak mereka untuk mengalami kasih Tuhan juga secara pribadi.
Anak perlu mengerti bahwa kasih Tuhan itu bukan sekedar konsep. Kasih Tuhan itu perlu dialami loh! Kasih Tuhan is not just an idea, God loves you, yes haleluya. No, it has to be personally experienced.
Karena kita tidak bisa memberi apa yang kita enggak punya! Kita tidak bisa menerima dan tidak bisa memberikan apa yang kita sendiri tidak pernah terima. Kita tidak pernah bisa meneruskan apa yang kita tidak terima dari Tuhan. Kita tidak bisa membawa orang lain untuk mengalami sesuatu yang kita sendiri jarang atau tidak pernah alami.
Itu sebabnya pengenalan orang tua akan kasih Kristus akan menentukan sejauh mana anak mengenal Tuhan lewat kehidupannya sehari-hari. Dan kasih itu bukan sekedar perasaan yang tersimpan dalam hati, tapi sebuah tindakan yang perlu kita tunjukan.
Allah Bapa berkata, waktu Yesus dibaptis, langit terbuka, “Inilah anak-Ku yang kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Diberikan afirmasi secara verbal kepada Yesus. Dilanjutkan dengan mengirimkan Tuhan Yesus untuk mati buat dosa Saudara dan saya, sampai taat mati di atas kayu salib.
Ditunjukkan karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.
Supporting Verse – Dengan jalan inilah kita mengetahui cara mengasihi sesama: Kristus sudah menyerahkan hidup-Nya untuk kita. Baca sama-sama yuk? Sebab itu, kita juga harus menyerahkan hidup kita untuk saudara-saudara kita! 1 Yohanes 3:16 (BIS)
Mulai dari orang-orang yang terdekat dengan kita. Tuhan sendiri sudah menunjukkan kasih-Nya dengan cara memberikan hidup-Nya. Kita pun perlu menunjukkan, kasih itu enggak sekedar lip service. It only takes a second to say “I love you” but it takes a lifetime to prove it.
Dapat salam dari Valentine’s day. Itu hanya satu hari dari 365 hari dalam satu tahun. Bagaimana cara kita menunjukkan kasih kita kepada orang lain? Serahkan hakmu, serahkan egomu, serahkan kepentingan pribadimu, serahkan agenda pribadimu, karena ini adalah proses pembelajaran seumur hidup.
Yang kedua “unity”; katakan ‘kesatuan’.
Saudara, kesatuan hati sangat penting bagi suami dan istri, dalam menjalani peran sebagai ayah dan ibu.
Supporting Verse – BETAPA mengagumkan dan betapa menyenangkan apabila kaum keluarga hidup dalam kerukunan. Karena kerukunan sama berharganya seperti minyak pengurapan yang harum semerbak, yang dicurahkan ke atas kepala Harun, lalu mengalir ke janggutnya dan pinggiran jubahnya. Kerukunan menyegarkan seperti embun di Gunung Hermon, di atas pegunungan Israel. Dan kepada Yerusalem Allah telah mengaruniakan berkat yang kekal ini:— baca sama-sama, apa berkat yang kekal itu?— kehidupan untuk selama-lamanya. Mazmur 133:1-3 (FAYH)
Siapa yang mau terjadi dalam pernikahan dan keluarga Saudara terutama adalah kehidupan? Angkat tangannya tinggi-tinggi sekarang. Semua kita mau, kehidupan.
Kehidupan terjadi dalam parenting journey kita itu adalah akibat. Sebabnya apa? Rukun.
Pastor Jeffrey selalu mengatakan, ”Jangan kejar apa yang bisa datang sendiri.” Di ayat ini dijelaskan yang dikejar bukan berkatnya! Tapi berkat yang kekal—yaitu apa?—kehidupan, nah kalau kita mau kehidupannya, kita harus mau melakukan sebabnya; apa namanya? Kerukunan.
Kerukunan itu mengagumkan! Membuat orang lain mengenal Tuhan lewat kerukunan. Kerukunan itu menyenangkan. Kerukunan itu berharga dan kerukunan itu menyegarkan. Dengan kata lain, keributan, pertengkaran, membuat anak-anak kita sulit kenal Tuhan.
Sharing Ps. Alvi – Keributan, pertengkaran itu, menyebalkan, murahan dan melelahkan. Puluhan tahun yang lalu, sering terjadi keributan di pernikahan orang tua saya almarhum dan almarhumah.
Berpuluh-puluh kali ayah saya minta cerai sama mama saya. Namun, mama saya enggak pernah mau. Ada momen-momen bahkan, tidak jarang, kalau Ayah saya sedang marah, semua yang di sekitarnya akan dilempar.
Tidak jarang waktu kami sedang makan, makanan yang dimakan tidak enak, di ambil sayurnya, disiram ke muka mama di depan semua anak. Pertengkaran fisik sering kali terjadi. Verbal abuse, physical abuse. Paha berdarah-darah dari SD sampai SMP sampai SMA, udah biasa. Berdarah di dalam. It was like hell on earth.
Saya tidak bisa lihat Tuhan sebagai figur Bapa. “Bapa di surga..” Enggak bisa, korslet. Puluhan tahun saya bergumul dengan ketidakpengampunan terhadap ayah saya atas perlakuannya kepada Mama saya dan kepada kami anak-anaknya.
Puji Tuhan, saya punya Bapa di surga. Saya izinkan Dia mem-Bapak-i saya. Kabar baiknya buat Saudara yang merasa figur Ayah Saudara atau figur Ibu Saudara enggak berfungsi, izinkan Tuhan, to father you again. Apa yang kita alami di masa lalu, kita punya kendali dan bilang gini, “It stops with me. Saya enggak mau lanjutkan ini, ke keluarga saya.”
Balik ke kerukunan. Dalam mendidik anak, istri dan suami perlu sepakat semua bilang ‘sepakat’.
Supporting Verse – Didikan dan teguran menjadikan orang bijaksana. Anak yang selalu dituruti kemauannya akan memalukan Ibunya. Amsal 29:15 (BIS)
Karena kan Mama Ggarda terdepan ya. Papa garda terbelakang; dompetnya maksudnya ya. Kalau Mama enggak lulus ya biasanya, ”Yah, enggak lulus, gue yang bayar, kan kira-kira gitu ya? Supaya anak saya bijak memang kita perlu didik dan tegur mereka.
Nah, dalam proses kita mendidik, menegur anak, perlu sepakat nih, Papa sama Mama. Sepakat dalam pendapat, opini, prinsip, pandangan, pola pikir, yang akhirnya memunculkan keputusan bersama didasari kesepakatan itu.
Tujuan akhir dari kesepakatan itu buat anak adalah ini: kejelasan. Kalau Papa bilang Mama bilang B, mixed signal, “Jadi boleh enggak sih?” Tapi kalau Papa dan Mama sepakat, ”Ini lho, Nak. Ini yang mau kita bangun. Kita didik kamu, kita tegur kamu, karena ini.”
Dulu yang membedakan saya dengan ayah saya itu, kalau ayah saya negur, itu kaya bukan marah, tetapi lebih ke melampiaskan amarah, jadi enggak nyampe pesannya sama saya. Apalagi sama Mama juga enggak sepakat, yang ada sepakat yang dilempar.
Ini memang benaran, Saudara ketawa, tetapi saya nangis waktu itu. Hindari anak menerima perintah atau arahan yang berbeda dari Papa atau Mama, karena perbedaan ini akan berpotensi memunculkan kebingungan, kebimbangan penerimaan anak akan semua ajaran atau aturan yang sedang ditetapkan dalam keluarga.
Nah, ketidakjelasan otoritas ini akhirnya bisa menghasilkan kepribadian anak yang ini: gampang goyah, indecisive,sulit mengambil keputusan dan akhirnya ignorant, “Daripada gua rempong ngikutin Papa atau Mama mendingan gua nggak ikutin semuanya.”
Ada kabar baik buat setiap kita. Kesatuan, kesepakatan, bukan berarti keseragaman. Saya Batak Cina, istri saya Jawa Keraton, Solo. Dari situ saja udah Saudara bisa memprediksi. Intonasi aja udah berbeda Bos ya. Kalau saya ini pakai kadang-kadang suka naik kunci, dikit, bekas worship leader lagi kan, ya. “Do sama dengan A, naik sedikit lah ke B, sayang. In case kau tidak dengar ya. Aku naiklah kunci sedikit.”
Suami dan istri perlu sepakat dalam menentukan perilaku apa dari keluarga lama kita yang mau kita tinggalkan, nilai-nilai apa yang baru yang kita berdua sepakat ingin terapkan. Dan ini adalah pembelajaran seumur hidup. Sampai di sini sudah mulai berdarah? Saya udah berdarah mingguan lalu.
Yang ketiga, discipleship. Semua katakan pemuridan.
Tuhan Yesus mencontohkan gaya hidup pemuridan kepada murid-murid-Nya. Proses pemuridan sudah selayaknya terjadi, waktu orang tua menjalankan perannya sebagai pemimpin rohani bagi anak-anaknya.
Dengar para orangtua, terutama yang setiap kali ini komplain, “Susah banget ya dapat kuota ya. Ini ada konspirasi kali ya. Susah banget dapet apa kuota buat anak saya”. We hear you. Tapi izinkan saya atas nama tim penggembalaan dan keluarga Rachmat, Radjagukguk, Carol dan Mohede se-indonesia, ya.
Pemuridan harusnya dimulai di rumah bukan di gereja, karena gereja bukan tempat penitipan anak. Tugas yang pertama dan terutama dalam memuridkan anak, bukan kakak SGL (small group leader), tapi saya dan saudara sebagai orang tua.
Masak buatnya mau, ngemuridinnya enggak mau. Kalau kita suruh kakak SGL yang muridin, bayarin juga dong kosnya Si kakak. Cengli? Pemuridan sebaiknya dimulai dari keluarga, discipleship starts from home; it should be home-made. Orang tua adalah pemurid, anak adalah murid. Orang tua dalam posisi mencontohkan, anak menangkap contohnya.
Supporting Verse – Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, Baca sama-sama: dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Buat para orang tua yang sedang memuridkan, ini janji Tuhan buat setiap kita. Baca sama-sama yang keras: Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Matius 28:18-20 (TB)
Tidak hanya Saudara sahabat Tuhan, Saudara juga adalah rekan sekerja Tuhan dalam memuridkan anak yang Tuhan titipkan buat Saudara. Ketika Saudara rasa tidak mampu, Saudara tidak kuat, Saudara tidak mengerti lagi, “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa. Kamu butuh hikmat? Aku kasih hikmat. Kamu butuh enabling grace? Aku kasih “Kasih karuniaKu” untuk memampukan kamu.
So, jangan pakai kekuatan Saudara sendiri. Anak Saudara, anak kita bukan milik kita. Anak kita milik Tuhan, dititipkan kepada kita. Kita steward, bukan owner. Ada dua kata kunci di situ: ’ajarlah’ dan ‘melakukan’.
Kata ‘ajarlah’ memiliki pengertian ‘teach’, ‘direct’, admonish, ’ajar’, ’arahkan’, tegur. Bukan cuman ‘arahkan supaya tahu firman, tapi arahkan untuk melakukan, observasi mengamati firman, mematuhi, obey praktis, praktikin dong, belajar praktek firman.
Kita baru bisa memuridkan anak-anak kita dengan baik waktu kita sendiri jadi murid Kristus. Kita baru bisa menginspirasi anak kita untuk jadi murid firman Tuhan, waktu kita sendiri juga jadi murid firman Tuhan, bukan jadi murid media sosial. Kita baru bisa memuridkan anak-anak kita, waktu kita sendiri juga mencontohkan, “Saya juga dimurikan loh sama orang lain. Saya sendiri juga masih belajar. Saya jadi murid Kristus, murid firman Tuhan, dan dimurnikan oleh orang yang mungkin sudah lebih dewasa.”
Mama saya adalah orang yang pertama memuridkan saya. Dia contohkan bagaimana meninggalkan hidup agamawinya, dan hidup sebagai manusia baru dalam Kristus. Dia mengajarkan kepada saya bahwa ternyata agama tidak menyelamatkan kamu, Yesus yang menyelamatkan kamu.
Tuhan enggak mau kita jadi religius, Tuhan mau kita jadi spiritual. Tuhan tidak cuman pengen kita, Tuhan tidak sayang kita kalau kita melakukan kewajiban agama ini, ini, ini itu, enggak! Tapi Dia mengajarkan pertama kepada saya bahwa kekristenan itu hubungan basisnya.
Mama saya memuridkan saya, dia contohkan bagaimana mengandalkan Tuhan lewat disiplin rohani untuk berdoa dan membaca firman Tuhan. Mama mencontohkan bagaimana mempertahankan pernikahannya meskipun sudah diajak bercerai berkali-kali bahkan sampai hampir dibunuh di depan anak-anaknya serta mengajak anak-anaknya untuk tetap mengampuni Daddy.
Mama saya memuridkan saya, dia contohkan bagaimana menjunjung tinggi firman Tuhan, sehingga waktu dia melewati proses sakit kankernya selama 13 tahun; payudara, tulang belakang, otak, paru-paru, you name it, dia buktikan bahwa iman sudah seharusnya mengatasi perasaan dan realita kita.
Kita perlu anak-anak kita lihat ini dari kita, sekarang. Ini bukan tugas DATE Leader, ini bukan tugas pendeta, ini tugas kita. Jadi setiap kali Saudara ada proses iman, bilang gini: “Bersama Engkau, aku mampu Tuhan. Jadikan pengalamanku ini contoh buat anak-anakku.”
Bagi Saudara yang merasa ceritamu sudah berakhir, izinkan saya berkata: ceritamu belum berakhir. Daripada Saudara bertanya, ”Tuhan, kenapa begini? Kenapa begitu dalam pernikahan saya?” mendingan Saudara bertanya, “Tuhan waktu kami sudah lewati cerita ini proses ini, kira-kira ini bisa Tuhan pakai buat siapa? Kira-kira ini Tuhan mau pakai buat siapa?”
Bagi engkau yang sudah mau menyerah dengan pernikahanmu, saya yakin betul ini Roh Kudus yang akan ngomong sama Saudara, “Don’t give up. Your story has not finished yet.” Tidak ada pernikahan yang tidak bisa Tuhan pulihkan.
Bersama tim penggembalaan, saya ingin memberikan apresiasi kepada tim Next Gen Ministry; para Small Group Leaders, Small Group Coach, Phase Coach, Head Coach, Large Group Team, Next Gen Staff, Next Gen Pastors, dan Next Gen Ministry Heads, thank you! Tugas Saudara tidak mudah! Terima kasih karena sudah membangun suasana, berpartner dengan kami para orang tua untuk memuridkan anak-anak kami.
Maafkan kami kalau Kami sering komplain, ”Susah banget nih dapetin kuota buat anak!” padahal kami tidak mengerti kalian pun masih butuh SGL-SGL, karena kalian mau, kalau ini cuman tempat penitipan anak, masukin aja semuanya, tapi kalian mau anak-anak ini perlu dimuridkan, makanya kalian pasang badan di situ.
Kalau ada dari Saudara yang selama ini mungkin komplain, saya kasih opsi yang lebih baik. Pakai energi Saudara untuk komplain untuk bisa ikut melayani di Next Gen. How about that?
Yang keempat: Connection. Semua bilang ‘kedekatan’.
Connection berbicara tentang keterhubungan; ikatan hubungan yang terjadi antara orang tua dan anak seharusnya tidak ditentukan hanya dari seberapa anak hormat atau taat sama kita.
Karena kalau itu yang terjadi, itu namanya transaksi. Taat sama hormat mungkin penting, tapi yang paling penting adalah kualitas kedekatan, ketersambungan, keterhubungan, dengan anak-anak kita.
Pertanyaannya, yang Saudara bisa jawab dengan jujur: “Seberapa terhubung sih sebenarnya saya sama anak-anak saya? Seberapa dekat secara hati sih saya sama anak saya?”
Tidak karena hanya kita hanya orang tua, maka kita otomatis bisa ngomong loh sama mereka, “Aku nih Papamu, dengerin aku dong!” Masalahnya tidak ada yang namanya school of parenting, “Ikut kursusnya dulu boleh enggak?” Enggak ada.
Kelas Parenting ada, tetapi we all learn by doing. Dan membangun kedekatan pastinya tidak lepas dari yang namanya komunikasi. Membangun hubungan keterhubungan atau kedekatan dalam komunikasi melibatkan proses saudara menyatakan pikiran dan mengekspresikan perasaan.
Sekali lagi izinkan saya berkata jangan pakai tipe kepribadianmu atau latar belakang keluargamu, untuk menjadi alasan untuk kita enggak mau berubah, Halo? “Bapaku memang diem dari dulu. Jadi aku juga diem.” Mazmur 139, Tuhan Yesus sendiri mencontohkannya, Yesus mendekat sama kita.
Supporting Verse – YA TUHAN, Engkau telah menyelidiki—apa?—hatiku dan mengetahui segala sesuatu mengenai aku. Engkau tahu bila aku duduk atau bila aku berdiri. Atau beberapa mulai tidur lagi sekarang? Dari jauh, Engkau sudah mengenal setiap pikiranku. Engkau menyiapkan jalan di hadapanku dan memberitahu aku di mana harus berhenti dan beristirahat. Engkau tahu apa yang akan kukatakan bahkan sebelum aku mengucapkannya. Mazmur 139:1-4 TB
Tuhan adalah pakarnya untuk menyelami apa yang ada di pikiran kita, apa yang ada di hati kita dan dia pakarnya dalam mendengarkan apa yang ingin kita ucapkan. Kita akan merasa dekat, akrab dengan seseorang, kalau dia mengerti pikiran dan perasaan kita bukan?
Tantangannya ini: kita bukan Tuhan yang Maha Tahu segala sesuatu tentang anak kita, tapi kita bisa bikin suasana yang lebih menyenangkan supaya mereka mau mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
Memang perlu sebuah seni untuk bisa menggali, belajar memahami, bersabar dalam komunikasi mereka, apalagi kalau yang mereka ceritain kayanya enggak menarik banget ya. Tentang anak-anak ABG hari gini tentang anak SD hari gini. Kayaknya kalau mereka lagi ngomong kita maunya, ”Next?” “Setelah itu? And then?”
Sharing Ps. Alvi – Saya pun masih belajar saudara. Ini masih segar dua malam lalu ya. Lagi makan. dan setelah makan, Tiara, anak bungsu kami yang berumur 11 mulai nanya, “Daddy, tas yang Daddy dan Mommy kasih ke kakak dari Amerika itu mahal enggak?”
Kayaknya pertanyaannya sudah pernah diajuin deh. Tapi enggak apa apa, ”Oh ya sekian dollar.”“Oh, Daddy kapan ke Amerika lagi?” ”Masih lama.”Saya udah mulai kesel ya udah mulai kesel. Nih ya, obviously my better half, yang lebih waras dari saya yang lebih jarang gukguk dari saya mulai mencairkan suasana, ”Dek, maksud Adik tuh nanya gini gini gini Kenapa Dek?
Kan karena adek udah pernah nanya ini.” Mulailah si Pastor Radja ini menggonggong, “Tiara, nggak semua yang kamu mau itu kamu mau bisa dapetin segera ya nak?” Udah mulai gak sabar Bos. Udah berkali-kali isu ini dibawa soalnya. “Kenapa sih…Kenapa sih adik mesti persoalkan itu ini brawalalala.”
Mulai nangis dia. Mia nanya lagi, “Adik, kenapa nangis?” Tambah nangis lagi dia. Singkat cerita, cut the story short, Mia berhasil menggali. “Oh jadi ternyata adik nanya-nanya tentang tas itu karena besok kita mau nonton konser Raisa.” Tadi malam. “
Trus adik udah punya konser outfit konsep sendiri. Mau pakainya ini itu, tasnya lebih ini ini. Terus adik nanya kakak, ‘Kakak boleh nggak pinjem tasnya?’ dan kakak nggak bolehin.” “Kakak!”Sudah mulai emosi nih! Ini toh yang bikin ya! Ribet bener hidup saya di rumah ini ya?
Ha?Jiwa-jiwa jek, ini tas halo? Kayak Hm? Kurang mulia gitu ya pembicaraannya? Kurang kerajaan surga lah ya?“ Duniawi sekali, Tiara. Tas! Itu tas!” Gitu ya. Saya peluk dia. Dia peluk juga nangis. “Sorry ya Dek…Daddy enggak paham tadi maksudnya gimana.”“Sorry kalau Daddy agak kenceng intonasinya.”
Saya belajar, Saudara, koneksi sebelum koreksi.Enggak se…enggak kaya kita lebih tahu lebih, bahkan asam garam, kita punya hak untuk ngomong lebih banyak. Saya pun masih belajar sampai hari ini. Saya pun kasih grace buat diri saya, jadi agar terus berproses.
Kadang-kadang setelah saya ngomong dengan intonasi tinggi melihat mereka nangis, ini yang lebih tertuduh ini sebenarnya.“Bodoh bener sih lu Pdt Alvi Radjagukguk, halo?”
Buat apa kita bisa mengoreksi tapi kehilangan koneksi hati dengan mereka? Dan terakhir, yang tidur bangun boleh bangun sekarang.
Lima. Semua bilang waktu.
Setiap saudara dan saya punya waktu yang sama, tidak ada yang berlebih, dan tidak ada yang berkekurangan. Dan dari 5 nilai-nilai inti ini, yang mungkin paling challenging adalah waktu ini.
Apalagi kalau Papanya kerja, mamanya kerja. Banyak hobinya, banyak mamanya arisannya banyak. Karena waktu adalah satu-satunya sumber daya nggak bisa di-renew; Unrenewable resources; tidak bisa bisa diperbarui ulang.
Dan untuk anak-anak, Love equals to Time. Dia enggak mengeja love itu dari semua fasilitas, tapi dari sisi waktu, apapun bahasa kasih mereka. Mengasuh dan membesarkan anak adalah sebuah perjalanan—semua katakan ‘perjalanan’— Dia tidak berhenti di usia tertentu.
Bahkan mungkin kita menikah nanti. Perjalanan ini mengenal fase-fase perkembangan dalam kehidupan si anak. Kabar baiknya buat setiap Saudara dan saya, kalau ada fase yang kita sudah terlewat, “Di fase ini kayaknya saya tidak berfungsi dengan baik sebagai Papa atau Mama…”kabar baiknya adalah ini: Tidak berarti Saudara akan terlewat semua fase kehidupannya. Give grace to yourself.
Gereja secara rata-rata hanya punya 40 jam untuk mempengaruhi seorang anak. Tetapi lihat dari sisi orangtua punya waktu berapa jam Saudara? 3000 jam setahun. Kali 18 tahun sampai dia keluar kuliah.
Saya kasih beberapa tips. Berdamailah dengan masa lalu.
Berhenti terutama para ibu-ibu yang merasa gagal jadi orang tua. Kalau ada dari Saudara belum mengampuni orang tua Saudara dari masa lampau, kemungkinannya adalah Saudara melampiaskan amarah Saudara kepada anak Saudara di masa sekarang. Just let go, and let God. Shake it off.
Tips yang kedua gunakan teknologi untuk membantu mencatat jadwal Papa, jadwal Mama, jadwal Kakak, jadwal adik, dan sebagainya,supaya menjadi lebih terencana semuanya.
Saudara tidak perlu punya IQ yang tinggi atau daya ingat yang besar untuk melakukan itu, hanya pakai aja teknologi.
Yang ketiga batasi waktu anak-anak Saudara dengan media sosial, karena di usia tertentu mereka belum punya filter yang tepat untuk memfilter apa yang disajikan di media sosial.
Yang keempat, bangun kebiasaan-kebiasaan yang bernilai dengan anak-anak, seperti berdoa, membaca firman, memuji Tuhan, melayani, dan memberikan apresiasi kepada orang lain.
Tips berikutnya, gunakan kesempatan-kesempatan kecil yang ada untuk membangun percakapan yang berarti . Waktu mau ke gereja, lagi jemput anak, antar anak, waktu nunggu makan, malam nunggu mama nyalon, dan sebagainya.
Tips yang terakhir: lakukan berulang-ulang, karena kualitas keluar dari kuantitas. Dan apa yang penting harus diulangi. Kita pulang dan mencatatnya, namanya juga ulangan; di ulang-ulang.
Closing Verse – Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang—sampai berbusa-busa—kepada anak-anakmu dan membicarakannya. Ulangan 6:6-7 TB
Baik saat lagi duduk, lagi dalam dalam perjalanan, lagi leyeh-leyeh, dan saat lagi bangun. Nah karena kami mau saudara berhasil dalam perjalanan parenting Saudara, kami sudah menyediakan tools-nya; namanya Parent Cue.
Saudara bisa lihat di aplikasi MyJPCC. Slide berikutnya. sudah dikasih tahu minggu ini kita lagi ngajarin anak Saudara tentang apa hormat.
Apa itu hormat? Tunjukkan, slide yang kedua, tunjukkan kepada orang lain. “Tunjukkan orang lain berharga lewat perkataan dan perbuatanmu.” Lihat aja di aplikasi MyJPCC: Ada daily cues, waktu pagi, waktu berkendara, waktu makan, waktu sebelum tidur.
Aktivitasnya ngapain?
Untuk membangun percakapan rohani, membantu anak Saudara membangun imannya, karena imannya perlu personal enggak bisa dompleng Saudara. Nah, setelah Saudara belajar kelima hal nilai inti dari parenting, tantangannya bagi kita baik sebagai orang tua maupun calon orang tua, adalah bahwa sebenarnya segala sesuatunya sekali lagi mulai dari diri sendiri, it starts with me.
Karena warisan terbesar yang bisa saya berikan kepada anak-anak dan keluarga saya adalah karakter dan iman saya.
P.S : If you like our site, and would like to contribute, please feel free to do so at : https://saweria.co/316notes