The Key to Living is Dying to Self By Ps. Jose Carol

JPCC Online Service (22 October 2023)

Selamat Pagi Sutera Hall dan semua yang menyaksikan di rumah, Apa kabarnya semua? Senang sekali bisa bertemu saudara semua disini, untuk menyambut saudara semua yang menyaksikan secara online di rumah. Semoga damai sejahtera dan sukacita yang berasal dari Tuhan memenuhi anda semua dimanapun anda berada. 

Khusus bagi saudara yang berada secara fisik di Sutera Hall, Saudara bisa memberikan High-Five dan Pelukan, inilah beadanya jika anda menyaksikan secara on-site, kalian bisa memberikan penguatan secara langsung antara satu sama lain. Senang bisa berada disini dan saya secara pribadi belajar banyak dari seri pengajaran yang sedang dilakukan sekarang yaitu tentang hidup berkelimpahan.

Ada 2 kata kunci dari hidup berkelimpahan, kita sudah belajar bahwa hidup yang kita dapatkan berasal dari Tuhan, “Zoe“, God’s kind of life. Sementara kata kelimpahan berasal dari bahasa asli “Perissos“, bahwa kelimpahan disini bukan sekedar mempunyai materi dan harta benda yang lebih banyak, tetapi berbicara tentang kehidupan yang bersumber dan berpusat kepada Kristus, hidup kita akan mengalami kelimpahan disaat kita berpusat kepada Kristus. 

Hidup berkelimpahan adalah hidup dengan Kristus sebagai pusat.

Banyak kita sedang berkata bahwa kita kurang ini dan itu, tetapi penambahan dalam hidup kita tidak membuat kita mengalami kelimpahan. Kelimpahan datang disaat kita menjadikan Kristus sebagai pusat kehidupan kita. 

Selama hidup kita tersambung dengan Tuhan dan bersumber dari Tuhan, kita akan terus menghasilkan buah dan tidak kekurangan. 

Tidak ada pohon yang marah kalau buahnya dipetik, bukan? Pohon akan menjadi bangga jika buahnya bisa memberikan dampak kepada yang memakan buahnya. 

Opening Verse – Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal. Matius 12:33 TB

Oleh sebab itu, kita hari ini mau fokus belajar sedikit lebih jauh lagi, bagaimana kehidupan kita yang berlimpah ini bisa menjadi berkat bagi orang lain, sehingga buah dari kehidupan kita bisa dinikmati orang lain. Kehidupan yang berkelimpahan tidak hanya fokus kepada diri sendiri, tetapi bagaimana sumber kehidupan yang ada di dalam kita boleh mengalir dan menjadi berkat bagi orang lain. 

Biasanya disaat kita mendengar kata “berkelimpahan”, kita lebih suka dengan kata “limpahnya”, dan salah mendefinisikan arti “berlimpah”. Seolah-olah kalau berlimpah itu hanya disaat kita berkelebihan secara material saja.  Kita bisa saja punya rumah, tiket pesawat, travel ke tempat yang lebih indah serta tabungan yang lebih besar, tetapi semua itu tidak bisa menjamin bahwa kita bisa menemukan damai sejahtera disana. 

Tetapi pada saat Tuhan menjadi sumber kehidupan, kita bisa menikmati semua itu dan juga berkatnya bisa dinikmati oleh orang lain yang ada di sekitar kita. Kita akan belajar hari ini tentang hidup berkelimpahan dan dampak hidup kita yang bisa dinikmati oleh orang lain yang ada di sekitar kita. 

Supporting Verse – Ada seorang datang kepada Yesus, dan berkata: ”Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus: ”Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik. Tetapi jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah.” Matius 19:16-17 TB

Kata orang itu kepada-Nya: ”Perintah yang mana?” Kata Yesus: ”Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata orang muda itu kepada-Nya: ”Semuanya itu telah kuturuti, apa lagi yang masih kurang?” Matius 19:18-20 TB

Ada di antara kita yang mungkin bisa juga berkata bahwa semua diatas itu sudah kita lakukan, tetapi seperti kita lihat bahwa orang seperti anak muda diatas yang sepertinya “comply” dan taat bisa gagal, apalagi dengan kita yang suka menggerutu. 

Supporting Verse – Kata Yesus kepadanya: ”Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Ketika orang muda itu mendengar perkataan itu, pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya. Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Matius 19:21-23 TB

Walaupun Yesus meminta anak muda ini untuk menjual semua hartanya dan memberikan kepada orang miskin, tetapi tentu kita tahu bahwa permintaan Yesus ini sebenarnya bukan dalam hal material dan bersifat transaksional.

Seringkali kita berpikir secara transaksional, seperti anak muda diatas yang sudah melakukan “cukup” dan apalagi yang kurang agar bisa mendapat hidup yang kekal. Yesus tidak sedang menghitung apa yang dia dan kita lakukan, tetapi Yesus sedang menguji kedalaman hubungan si anak muda ini dengan PenciptaNya. 

Kita belajar tentang “Zoe”, dan kehilangan itu disaat kita jatuh di dalam dosa, tetapi Penebusan Kristus yang memberikan kita justifikasi dan membenarkan kita sehingga kita dipulihkan kembali relasiNya dengan Bapa di Surga, Pencipta kita.

Yesus sedang menguji, sebenarnya hubungan kita dengan pencipta kita, yang menjadi sumber kehidupan itu lebih dekat dan dalam dari hubungan kita dengan harta kita atau tidak? Apakah prioritas kita dalam kehidupan ini, dalam mengikuti Tuhan itu lebih dari apa uyang ada di tangan kita?

Makanya di kisah diatas kita melihat bahwa anak muda itu meninggalkan Yesus dengan penuh kesedihan, karena banyak hartanya. Saya percaya bahwa tantangan itu bukan karena Yesus ingin mengambil semua yang ada dalam hidup kita, karena yang diuji adalah skala kedalaman antara hubungan kita denganNya, apakah betul bahwa Yesus adalah segalanya bagi kita? Betulkah kita mencari Dia dan KebenaranNya terlebih dahulu?

Anak muda ini jelas sekali kecewa saat diminta untuk mendahulukan hubungan dia dengan Tuhan. Ini adalah contoh yang sangat cocok untuk menggambarkan apa yang sedang kita pelajari hari ini. Saya temukan memang banyak dari kita yang hidup taat dan dekat kepada Tuhan, tetapi kita belum menjadikan Tuhan sebagai pusat segala-galanya dalam hidup kita.

Apa bedanya?

Orang yang hidup taat dan dekat dengan Tuhan, katakan misalnya saya seorang pengusaha yang hidup dan menjalankan bisnis saya sesuai dengan perintah Tuhan dan FirmanNya, saya berdoa mengandalkan Tuhan untuk memberkati bisnis saya. Bukankah itu sesuatu yang baik?

Tetapi bedanya antara orang yang hidup dekat dengan Tuhan seperti itu dibandingkan dengan orang yang menjadikan Tuhan sebagai pusat untuk segala-galanya dalam kehidupannya adalah bahwa mereka bukan lagi meminta Tuhan untuk memberkati hidup dam bisnisnya, mereka menyadari bahwa apapun yang ada di tangan mereka adalah milik Tuhan, mereka tidak lagi hanya meminta Tuhan untuk memberkati bisnis mereka karena mereka menyadari bahwa apa yang ada di tangan mereka adalah sepenuhnya milik Tuhan.

Sehingga pada saat Tuhan belum menjawab apa yang mereka minta, mereka tidak akan merasa kecewa. Karena orang yang mengandalkan Tuhan kadangkala masih merasa kecewa, tetapi orang yang sepenuh hidupnya berpusat kepada Tuhan walaupun mengalami tantangan, lebih besar kemungkinan mereka tidak kecewa. 

Itu sebabnya sewaktu Tuhan meminta Abraham mengorbankan putranya yang tunggal, bukan Tuhan ingin mengambil segala sesuatu dari hidup Abraham tetapi Dia sedang menguji apakah betul Iman Percaya Abraham kepada Tuhan lebih besar daripada rasa sayangnya kepada anaknya yang tunggal. Makanya Ishak diminta untuk dikorbankan, dan bukan memingta Abraham untuk mengorbankan sekian ribu binatang dan hewan peliharaan yang ia punya, karena itu sama sekali tidak akan mengusik hati Abraham sama sekali. 

Orang yang hidupnya berpusat kepada Tuhan maka segala sesuatu dalam hidupnya adalah milik Tuhan dan menjalankan hidupnya dengan berpusat kepada keinginan dan kehendak Tuhan dalam hidupnya.

Tanpa pewahyuan bahwa hubungan yang kita miliki dengan sang pencipta langit dan bumi adalah sumber dari segala sesuatu yang melebihi apapun yang ada di muka bumi ini, maka hidup kita ini senantiasa akan terikat dan bersandar kepada standard kehidupan yang ada di sekitar kita, kita hanya akan menjalankan kehidupan sesuai dengan “the common practice”, cara manusia hidup yang ada di sekitar kita.

Supporting Verse – Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Yohanes 12:24-25 TB

Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa. Yohanes 12:26 TB

Inilah rahasia untuk kita hidup berlimpah, karena kelimpahan kita datang disaat hidup kita bisa dicicipi oleh orang lain. Kuncinya untuk kita bisa berlimpah, hidup dan menjadi berkat untuk orang lain adalah pada saat kita mati. The key to living is dying to self.

Tetapi paradoks untuk kita sebagai manusia, tidak mudah untuk kita mau memberikan diri kita sendiri, karena kita sendiri cenderung mempunyai insting secara naluri adalah survival atau menyelamatkan diri sendiri serta bertahan hidup. Tetapi kebenaran yang Yesus ajarkan ini paradoks dengan insting manusia.

Justru kalau kita ingin berlimpah, kita harus mati dan membiarkan orang lain mencicipi diri kita dan disaat itulah kita mengalami kelimpahan. Lebih besar sukacita memberi daripada menerima, gampang untuk diaminkan dan susah untuk dilakukan, bukan?

Kebenaran yang membuat kita menyadari bahwa kelimpahan adalah pada saat kita tidak hanya memikirkan diri kita sendiri. Kepuasan datang bukan saat kita dapat, tetapi kepuasan justru datang sewaktu kita bisa memberi. Ini bertentangan dengan intuisi manusia yang cenderung takut kehilangan dan mau mempertahankan. 

Pertanyaannya, bagaimana kita mempraktekkan hal ini? Dying to self?

Ada 2 poin yang saya akan sampaikan. Saya harap anda semua mencatat karena di JPCC kita menghargai budaya mencatat karena apa yang kita tulis akan bisa ditindaklanjuti dan itu mencerminkan bahwa kita menghargai diri kita sendiri. 

Pertama, Kembalikan kendali hidup kepada Tuhan, Biar Tuhan yang memegang kendali dalam kehidupan saudara.

Supporting Verse – namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. Galatia 2:20 TB

Minggu lalu kita sudah belajar bahwa hidup kita sekarang ini adalah manusia yang baru, karena yang lama sudah berlalu pada saat kita dibenarkan oleh Tuhan di atas kayu salib. Seberapa jauh saudara bisa hidup melepaskan diri untuk dikendalikan Tuhan yang akan menentukan seberapa jauh hidup kita akan menjadi berkat bagi orang lain.

Minggu lalu kita belajar bahwa ciptaan yang baru sudah datang karena yang lama sudah berlalu, tetapi ciptaan yang baru ini kan sebuah proses untuk menjadi lebih baik, bukan? masih terus bertumbuh semakin hari semakin serupa dengan Kristus. 

Proses ini yang disebut sebagai Sanctification, kita diselamatkan di atas kayu salib tetapi manusia baru kita masih terus bertransformasi, diubahkan semakin hari menjadi semakin serupa dengan Kristus. Kalau kita mau melayani Tuhan, maka kita harus mengikuti apa yang Dia lakukan, melepaskan kendali adalah proses, dan anak muda itu menolak untuk melepaskan kendali atas apa yang dia punya untuk mengikuti Tuhan. Itulah proses yang harus kita jalani dalam kehidupan kita, ada sanctification yang sedang kita jalankan. 

Supporting Verse – Sekarang secara rohani saya sudah disalibkan bersama Kristus. Itu berarti bukan lagi saya yang mengatur hidup saya, melainkan Kristus yang hidup dalam diri saya. Seluruh hidup yang saya jalani dalam tubuh duniawi ini hanyalah berdasarkan keyakinan penuh kepada Anak Allah, yang begitu mengasihi saya sampai rela menyerahkan diri-Nya untuk menebus saya. Galatia 2:20 TSI

Waktu Kristus menyerahkan DiriNya untuk menebus kita semua, keselamatan dan “Zoe” kita terima, tetapi untuk kita betul-betul melepaskan kendali atas hidup kita, ada sebuah proses  dan perjalanan, sanctification, yang setiap hari harus kita praktekkan dalam hidup kita. 

Banyak kita meskipun sudah diselamatkan, tetapi kita masih mengendalikan hidup kita sendiri seperti bagaimana mempergunakan sumber daya yang ada di tangan kita, waktu kita, perasaan kita, dan keberadaan kita. Cara kita untuk mati bagi diri kita sendiri adalah menyerahkan hidup kita, kendali kita kepada Tuhan. 

Supporting Verse – Tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan bagiku dan aku bagi dunia. Galatia 6:14 TB

Justifikasi adalah saat kita ikut disalibkan dengan Kristus, makanya kita menerima Kristus dan dibaptis serta bangkit bersama. Di ayat diatas, yang disalibkan itu adalah konteksnya dia dengan dunia, artinya hidup aku tidak lagi dipengaruhi oleh standard duniawi, materi duniawi, dan pendapat duniawi. Ini bicara soal kendali dalam kehidupan kita. 

Kedua, Serahkan Hak untuk mengutamakan diri sendiri. 

Supporting Verse – Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Yohanes 12:25 TB

Kata “nyawa” disini, bahasa aslinya memakai kata “Psuche”, kata yang dipakai untuk kata psikologi yang berhubungan dengan jiwanya. Siapapun yang mencintai jiwanya, pikirannya, kemauannya, dia akan kehilangan, tetapi barangsiapa melepaskan kendali atas kemauannya sendiri, dia akan memeliharanya dan mendapatkan “Zoe”, hidup yang kekal.

Pada saat kita berani untuk mengorbankan kepentingan diri kita sendiri, melepaskan keinginan dan kepentingan diri kita sendiri, kita bisa mendapatkan “Zoe”, kita bisa mati atas diri kita sendiri.

Disaat kita dikirimkan sebuah “Group Photo”, yang pertama kita cari tentunya adalah teman baik saudara, keluarga saudara? tentu bukan, yang kita cari pertama adalah diri kita sendiri, bukan? Terus kita lihat dan bisa bilang juga, “Yah, fotonya saya sedang tutup mata, dan langsung kita bilang jelek fotonya, meskipun semua yang lain sudah terlihat sempurna”.

Mengutamakan diri sendiri memang kita, manusia, termasuk saya sendiri. Tetapi disini, “Mati bagi diri kita sendiri” memikirkan yang lain tentunya. Kalau kita bisa mempraktekkan itu saja di JPCC, harusnya hari minggu tidak banyak kursi yang kosong karena yang berubah pikiran tidak akan datang seharusnya sudah cancel di beberapa hari sebelumnya, bukan?

Bayangkan jika ada beberapa dari kita yang cancel last minute, hanya 15 menit sebelum ibadah dimulai, bagaimanakah yang lain sedang menyaksikan di rumah karena sudah dari hari kamis tidak mendapat tiketnya, apakah mungkin bisa siap dan sampai ke gereja dalam waktu 10-15 menit saja?

Kalau kita semua belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri, kalau kita mau menjadi berkat sehingga berkat dan anugerah Tuhan tidak hanya berdampak bagi diri kita sendiri, kita harus belajar untuk mengutamakan orang lain dna menyerahkan hak untuk mengutamakan diri sendiri.

A Christ-centered life is Christ living in me and loving through me to serve others.

Hidup kita bukan hanya mau dekat dengan Tuhan, tetapi kita juga mau hidup dimana Kristus menjadi pusat dalam keberadaan kita, dan menjadi segala-galanya dalam kehidupan kita, Dia yang memegang kendali hidup kita dan Dia juga yang kepadaNya kita serahkan semua hak kita sehingga kita bisa menjadi berkat bagi orang lain.

Closing Verse – Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. 2 Korintus 9:8 TB

Bayangkan, Tuhan bisa tambahkan semua Kasih Karunia, berkat, anugerah, tetapi kalau kita hidupnya self-centered, tidak pernah cukup dan hanya mementingkan diri sendiri, tidak mungkin lebih atau limpahnya bisa dicicipi orang lain karena kita hanya memikirkan diri sendiri saja. 

Tuhan memang bisa menambahkan secara terus menerus, tetapi saudara tahu bahwa kita tidak akan pernah penuh, cukup dan puas, dan orang lain tidak akan bisa mencicipi kebaikan dan kehidupan Tuhan yang sudah kita terima. Hari ini saatnya untuk kita meneyrahkan betul kendali hidup kita dan mengijinkan Firman Tuhan bekerja melalui kita, bukan sesuai dengan apa yang dunia ukur, tetapi Kasih Karunia Tuhan bisa berlimpah sehingga bisa menjadi berkat bagi banyak orang. 

Pada waktu Yesus memecahkan 5 roti dan 2 ikan, Kita tahu bahwa 5 roti dan 2 ikan tidak langsung berlipat ganda. Kemudian disaat dibagikan kepada murid-muridNya, dan selanjutnya oleh murid-muridnya membagikan kepada sekelompok orang, mungkin tidak langsung kelihatan secara kasat mata akan kelipat gandaannya. 

Tetapi tahukah anda bahwa besoknya diberitakan bahwa 5000 kepala keluarga dan seluruh keluarganya makan kenyang dan masih tersisa 12 bakul, pertanyannya kaoan terjadi pelipatgandaan?

Saya percaya bahwa pelipatgandaan itu terjadi secara terus menerus disaat pemecahan roti terjadi, bayangkan jika kita sebagai salah satu kepala keluarga yang duduk disitu dan menerima roti dari murid Yesus yang membagikannya. Dan saudara diminta untuk membagikannya kepada orang lain, kalau mau berpikir secara realistis, mungkin bisa berpikir “Wah, untuk keluarga saya saja sudah tidak cukup dan sudah larut malam tidak ada yang menjual makanan juga”.

Tetapi PerintahNya adalah “to share what we have in our hands”, saya percaya bahwa malam itu ada orang-orang yang berkata, “Buat apa mikirin diri sendiri jika ini saja kalau dihabiskan tidak akan cukup, why don’t I just share?” 

Dia hanya bisa lakukan  itu jika dia punya iman percaya dan hubungan pribadi dengan Yesus yang ada disana, yang adalah sumber segala-galanya. Dia adalah sumber, pohonnya, kalau kita menempel dengan sumbernya, maka kita tidak akan pernah takut dan disaat Dia memecah roti itu, the rest is history, Alkitab mencatat bahwa semua makan kenyang.

Saya percaya bahwa itu cara Tuhan bekerja di tengah-tengah kita, baik itu dalam waktu kita yang terbatas dan tetap mau membagikan waktu dan melayani orang lain, begitu juga dengan perhatian kita kepada orang lain. 

The Question, is Jesus in control of our life? Apa kita melepaskan diri kita atau memilih untuk mengutamakan diri sendiri? Semua yang kita kelola, itu adalah milik Tuhan sehinngga pada saat Tuhan meminta kita untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup kita, seperti Abraham dan anak muda itu, tidak ada rasa kecewa dan tarik-tarikkan, dan kita tahu bahwa disaat Tuhan meminta bukan karena Tuhan ingin mengambil dan mengosongkan apa yang ada di tangan kita, tetapi justru karena Tuhan menantang kita supaya kita bisa dipercayakan lebih dan limpah lagi di dalam dan melalui hidup kita. Saatnya untuk kita bisa menjadi berkat bagi yang lain. 

P.S : If you like our site, and would like to contribute, please feel free to do so at : https://saweria.co/316notes